Sabtu, 15 September 2012

Perfection In My Life


A
ku hidup dikeluarga yang sangat sempurna, mereka mengajarkan banyak pelajaran yang tak pernah aku temukan didunia ini. Terkadang aku benci mereka, benci  jika ada pendapat mereka yang melenceng dengan keyakinanku.  Akibatnya banyak perdebatan yang aku harus lontarkan hanya untuk hal yang sepele ditambah lagi aku bukan anak yang mau kalah. Tapi karna perdebatan itulah aku bisa mengerti.., mengerti bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sama, sekali itu ditakdirkan untuk kembar, tapi yang menetukan adalah Dna dan selama beribu-ribu tahun dunia ini tercipta, tidak satu Dna pun yang sama. Aku bukan tipe anak  yang tertarik atau mungkin bisa dibilang penasaran dalam urusan orang, termasuk tentang keluargaku. Alhasil waktulah yang memaksaku untuk mengenal mereka, makin lama, aku makin mengerti bahwa keluarga adalah latar  perilakuku.

16 tahun aku mencicipi dunia ini tak cukup lama dibanding orangtua ku. Waktu luang biasa mereka habiskan untuk bercerita, menceritakan pengalaman keras hidup mereka. Rasanya aku terlampau lemah merasakan jalan hidup mereka. Pernah ayahku menceritakan hidupnya yang penuh dengan liku-liku, ia adalah pemuda tersulung dari 7 saudara yang seluruhnya laki-laki. Ia bukan pemuda berbadan tegap dan penuh dengan kesempurnaan fisik, tapi malah sebaliknya.  14 tahun ia harus menelan pahitnya takdir, ayahnya meninggal. Jiwanya hancur, orang yang paling ia sayangi dan selalu ia tiru, pergi.. menghilang tidak kembali. Tak bisa aku bayangkan itu terjadi padaku. Belum lagi ia harus menghentikan air matanya, disaat ia ingat ia harus menghidupkan 6 adik beserta ibunya. Bingung gundah gulana meracuni hirup nafasnya, termenung ia dihadapan jendela kamarnya, memikirkan bagaimana kehidupan selanjutnya. Sekarang seluruh takdir keluarganya berada ditangannya. Dengan keyakinan yang kuat, ia coba bangun berfikir memutar balik kembali otaknya. Ia putuskan untuk merantau ke Jawa Barat yaitu tepatnya Bogor.
“Lebih baik awak merantau saja lah mak”
“Merantau? Apa-apaan kau. Masih kecil lah lancang bilang begitu!”
“Apa lagi? Awak bingung, awak nak sulung mak.. Awak tak tau lai caronyo.”
 Dari nol ia bangun kembali semuanya, berjalan menyusuri takdir yang kelam dengan sendiri. Berkaca-kaca mataku saat aku bayangkan itu terjadi menimpaku, harusnya aku banyak bersyukur. Tapi itulah kelemahanku, aku belum bisa bertahan disaat badai masalah menimpaku, malah aku bersembunyi ditempat yang bisa melindungiku atau mengabaikan dan pergi.

Detik, menit, hari, minggu, bulan, tahun berlalu menyisakan kenangan pahit dan manis. Warna-warni takdir manusia penuh menghiasi dunia. Terkadang aku berfikir, sampai kapan dunia ini akan bertahan. Percuma saja aku fikirkan, waktu menakutkan itu tidak akan aku temukan,  banyak manusia berfikir kita yang mengejar waktu, sebenarnya waktulah yang mengejar kita, waktu berlari sangat-sangat kencang dan apa daya manusia, mau tidak mau mereka harus menyesuaikan hidupnya.Bukan hanya itu ayahku merasakan depresi tinggi. Ia pernah merasakan lumpuh, mematikan seluruh syaraf kedua kakinya disaat ia hampi menyelesaikan seluruh kuliahnya. “Mengapa kejadian itu terjadi disaat aku sedang menggapai berlian?”, seharusnya ayahku bertanya begitu, tapi tidak. Tetes demi tetes air mata hanya bisa ia keluarkan. Bayangkan saja, satu tahap lagi ia akan lulus dari kuliah, tapi karna kejadian itu, ia harus menelan pahit. Ia tidak berhenti sampai situ, ia berdo’a “Hanya satu yang aku mau ya Allah, biarkan kaki ini berdiri untuk bisa sholat”. Ia coba untuk berdiri, tapi terjatuh, tapi ia sendiri yang bilang “Disaat kita tertekan atau mendapatkan masalah bertubi-tubi, bukan berarti lemah harus menemani kita, tapi disaat itulah kita harus membuktikan betapa tegarnya kita”. Rasanya dalam sekali kata-kata ayahku, membuat aku yang lemah in,i bermotifasi kembali. Akhirnya kakinya bisa ia tegapkan untuk sholat. Lumpuh itu mengganggunya sampai setahun. Terpaksa ia tidak bisa kuliah selama setahun. Aku kira cerita selanjutnya akan berkata semuanya membaik kembali seperti normal, tapi tidak. Selama satu tahun itu tidak cukup, ia masih harus memakai penyangga yaitu tongkat. Sejauh 50 meter berjalan itu sudah membuatnya tak kuat, ia putuskan untuk memakai sepeda.  Sakit saat menggoes seperti menusuk kakinya sendiri, tapi apa gunanya mengeluh, ia tetap mencoba untuk semangat.Sudah cukup ia pernah merasakan tidak lulus, karna kelumpuhannya, mengecewakan ibunya. Tekadnya sudah bulat tidak akan ada lagi kemalasan apa lagi putus asa.


Helai demi helai daun menguning berguguran, buah-buahan yang tersimpan berjamur semakin membusuk, hewan-hewan berubah menjadi bangkai, kulit manusia yang kencang semakin lama menjadi kriput, itulah waktu, siapa yang bisa menghentikannya?, tidak ada. Pernah aku mendengar disaat ayahku bercerita tentang Ali bin Abi thalib, disaat Rasulullah Saw sedang sholat shubuh berjamaah, aku sedikit lupa kalau tidak salah Ali terllambat, hanya karna saat ia berjalan menuju masjid  tidak mau mendahului orang yang lebih ctua. Disaat rakaat terakhir Rasulullah Saw yang sedang menjadi imam sujud, sujudnya sedikit lama. Barulah saat itu Ali datang dan menyusul sujud.  Rasulullah baru tahiyat. Malaikat Jibril datang dan membisiki Rasulullah, “disaat itu Allah memberentikan waktu sejenak”. Aku tidak tau  sejarah itu betul atau tidak, tapi aku percaya para sahabat adalah orang-orang yang terpilih. Kakakku atau sering aku panggil abang, sering bercerita tentang kehidupannya di asrama. Ia adalah laki-laki bertubuh tegap yang mempunyai jiwa mandiri, banyak pengalaman yang ia dapatkan di asrama, salah satunya adalah sebuah ukiran perubahan yang sangat drastis, perubahan yang berjalan menuju kebaikan. Setiap manusia pasti pernah merasakan yang namanya terjatuh, tapi bukan itu yang akan di kenang, melainkan proses disaat ia bangun dan berdiri kembali seperti permata yang berkilau diantara bebatuan.
“Qila harus banyak bersyukur, dulu mama tidak seperti qila”
“Emang kenapa?”
“Ompung enggak pernah perhatiin yang namanya pelajaran mama, jadi mama sendiri yang berjuang untuk dapet nilai bagus”

Kadang-kadang aku heran ibuku seorang yang mandiri, ayahku apalagi, kakaku juga, sedang aku?.
 Semilir angin menerpa butiran-butiran pasir di pantai bagian utara, ku putar  balikkan kepalaku ke belakang, hanya untuk memastikan ibuku tidak melihatku yang sedang asik melakukan hal menjijikan. Sekelejap ia tertatap melihatku, ujung matanya yang sedikit turun dengan beberapa garis halus keriput menghiasi matanya. Kukira ia akan marah melihat anaknya sedang memainkan bekas makanan emutannya, rupanya tidak, ia malah tersenyum. Ia sama sepertiku katanya, tidak suka makan. Sampai saat sd kelas 6, dia baru mau makan seecara normal. ?. Ibuku adalah seorang yang tegar, sedikit abitious dan teguh pendirian. Dia adalah ibu terbaik untukku, yang kerjaannya marahin anaknya, kritik, ceramah. Tapi diisaat aku sudah marah sekali dengan dia pun, pendapatku tentangnya selalu sama, dia adalah ibu yang terbaik untukku. Aku ingin suatu saat, aku bisa memberinya sebuah mahkota, mahkota yang  jauh lebih indah dari dunia ini.  

Hidup itu ibarat ombak yang terus menerus menerjang karang, Karang yang tegar adalah karang yang mampu melihat indahnya matahari terbit dan tenggelam, mengapa? Karna karang yang bisa bertahan itu, seperti makhluk yang terus berjuang berdiri tegap di tengah badai angin tanpa berhenti bersyukur. Aku bukan anak yang special, yaitu anak yang mempunyai segalanya. Tapi aku ingin suatu saat segala yang aku inginkan bisa terjadi di tempat yang bertriliun-triliun kali lipat lebih indah dari dunia. 


                                                                                                                                        
Created by: Aqila Ghina N. Harahap

Penilai:  fauziahali09@yahoo.com
Nilai: 100
Kuatkan dialog untuk menguatkan penokohan.
Menulislah seperti mengalirnya air...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar