A
|
ku hidup dikeluarga yang
sangat sempurna, mereka mengajarkan banyak pelajaran yang tak pernah aku
temukan didunia ini. Terkadang aku benci mereka, benci jika ada pendapat mereka yang melenceng
dengan keyakinanku. Akibatnya banyak
perdebatan yang aku harus lontarkan hanya untuk hal yang sepele ditambah lagi
aku bukan anak yang mau kalah. Tapi karna perdebatan itulah aku bisa
mengerti.., mengerti bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sama, sekali itu
ditakdirkan untuk kembar, tapi yang menetukan adalah Dna dan selama beribu-ribu
tahun dunia ini tercipta, tidak satu Dna pun yang sama. Aku bukan tipe anak yang tertarik atau mungkin bisa dibilang
penasaran dalam urusan orang, termasuk tentang keluargaku. Alhasil waktulah
yang memaksaku untuk mengenal mereka, makin lama, aku makin mengerti bahwa
keluarga adalah latar perilakuku.
16 tahun aku
mencicipi dunia ini tak cukup lama dibanding orangtua ku. Waktu luang biasa
mereka habiskan untuk bercerita, menceritakan pengalaman keras hidup mereka.
Rasanya aku terlampau lemah merasakan jalan hidup mereka. Pernah ayahku
menceritakan hidupnya yang penuh dengan liku-liku, ia adalah pemuda tersulung
dari 7 saudara yang seluruhnya laki-laki. Ia bukan pemuda berbadan tegap dan penuh
dengan kesempurnaan fisik, tapi malah sebaliknya. 14 tahun ia harus menelan pahitnya takdir,
ayahnya meninggal. Jiwanya hancur, orang yang paling ia sayangi dan selalu ia
tiru, pergi.. menghilang tidak kembali. Tak bisa aku bayangkan itu terjadi padaku.
Belum lagi ia harus menghentikan air matanya, disaat ia ingat ia harus
menghidupkan 6 adik beserta ibunya. Bingung gundah gulana meracuni hirup
nafasnya, termenung ia dihadapan jendela kamarnya, memikirkan bagaimana
kehidupan selanjutnya. Sekarang seluruh takdir keluarganya berada ditangannya.
Dengan keyakinan yang kuat, ia coba bangun berfikir memutar balik kembali
otaknya. Ia putuskan untuk merantau ke Jawa Barat yaitu tepatnya Bogor.
“Lebih baik awak
merantau saja lah mak”
“Merantau? Apa-apaan
kau. Masih kecil lah lancang bilang begitu!”
“Apa lagi? Awak
bingung, awak nak sulung mak.. Awak tak tau lai caronyo.”
Dari nol ia bangun kembali semuanya, berjalan
menyusuri takdir yang kelam dengan sendiri. Berkaca-kaca mataku saat aku
bayangkan itu terjadi menimpaku, harusnya aku banyak bersyukur. Tapi itulah
kelemahanku, aku belum bisa bertahan disaat badai masalah menimpaku, malah aku
bersembunyi ditempat yang bisa melindungiku atau mengabaikan dan pergi.
Detik, menit, hari,
minggu, bulan, tahun berlalu menyisakan kenangan pahit dan manis. Warna-warni takdir
manusia penuh menghiasi dunia. Terkadang aku berfikir, sampai kapan dunia ini
akan bertahan. Percuma saja aku fikirkan, waktu menakutkan itu tidak akan aku
temukan, banyak manusia berfikir kita
yang mengejar waktu, sebenarnya waktulah yang mengejar kita, waktu berlari
sangat-sangat kencang dan apa daya manusia, mau tidak mau mereka harus
menyesuaikan hidupnya.Bukan hanya itu ayahku merasakan depresi tinggi. Ia
pernah merasakan lumpuh, mematikan seluruh syaraf kedua kakinya disaat ia hampi
menyelesaikan seluruh kuliahnya. “Mengapa kejadian itu terjadi disaat aku
sedang menggapai berlian?”, seharusnya ayahku bertanya begitu, tapi tidak.
Tetes demi tetes air mata hanya bisa ia keluarkan. Bayangkan saja, satu tahap
lagi ia akan lulus dari kuliah, tapi karna kejadian itu, ia harus menelan
pahit. Ia tidak berhenti sampai situ, ia berdo’a “Hanya satu yang aku mau ya
Allah, biarkan kaki ini berdiri untuk bisa sholat”. Ia coba untuk berdiri, tapi
terjatuh, tapi ia sendiri yang bilang “Disaat kita tertekan atau mendapatkan
masalah bertubi-tubi, bukan berarti lemah harus menemani kita, tapi disaat
itulah kita harus membuktikan betapa tegarnya kita”. Rasanya dalam sekali
kata-kata ayahku, membuat aku yang lemah in,i bermotifasi kembali. Akhirnya
kakinya bisa ia tegapkan untuk sholat. Lumpuh itu mengganggunya sampai setahun.
Terpaksa ia tidak bisa kuliah selama setahun. Aku kira cerita selanjutnya akan
berkata semuanya membaik kembali seperti normal, tapi tidak. Selama satu tahun
itu tidak cukup, ia masih harus memakai penyangga yaitu tongkat. Sejauh 50
meter berjalan itu sudah membuatnya tak kuat, ia putuskan untuk memakai sepeda.
Sakit saat menggoes seperti menusuk
kakinya sendiri, tapi apa gunanya mengeluh, ia tetap mencoba untuk
semangat.Sudah cukup ia pernah merasakan tidak lulus, karna kelumpuhannya,
mengecewakan ibunya. Tekadnya sudah bulat tidak akan ada lagi kemalasan apa
lagi putus asa.